Assalamualaikum Wr.Wb.

About Me....

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Penulis yang masih muda, meniru. Penulis yang sudah berpengalaman, mencuri ide. ~T.S.Elliot-writer~

KETIKA IDEALISME DAN PERFIKSIONISME BERSATU



Beberapa hari yang lalu ada satu temen gue (Si A), dia bilang dia mau belajar dan kuliah seperti gue, trus dapet kerjaan seperti gue. Dia bilang dia mau sukses seperti gue, karena menurut dia gue sukses. Yah gue pikir why not, jadi gue ceritain lah apa yang terjadi dengan hidup gue. Tapi satu orang temennya (Si B) bilang ke dia di depan gue..

"Jangan nanya cara untuk sukses ke dia. Cara dia untuk sukses belom tentu cocok dengan elo. Kalo elo mau sukses, loe harus cari cara loe sendiri. Dan dia bukan orang yang bisa ngejudge elo apakah baik benar atau salah dan sukses atau tidak.

Jangan pernah nanya cara sukses ke orang yang udah sukses, karena mereka biasanya akan memaksakan cara mereka dengan pembuktian bahwa mereka udah sukses. Padahal cara sukses orang berbeda. Jangan nanya saran dengan orang idealis. Dan biasanya orang yang sukses itu orang yang idealis."

Pas gue denger itu, yang pertama kali muncul di kepala gue: "Yea you can say whatever you want coz you got no proof, but I got proof."
Dan di saat itu juga gue sadar dia bener.

Cerita ini datang dari seorang teman baikku waktu chat sore tadi. Cerita ini hadir setelah pembicaraan dan diskusi panjang tentang idealisme.

Saat ini aku dan dia sedang dalam phase yang sama. Mau tidak mau, kami sedang harus melakukan dekonstruksi terhadap semua nilai - nilai dan pemikiran kami. Mau tidak mau semua nilai - nilai yang kami anggap benar sejak dulu, kini kembali dipertanyakan. Dan sepertinya semuanya kembali dari nol lagi, semua berada di wilayah abu - abu.

Sejak dulu kami diajarkan bahwa jujur adalah keharusan, saat dewasa kami berusaha untuk jujur namun dikatakan tidak fleksibel dan dipersulit dalam melangkah. Saat kami berusaha untuk mengejar semua yang kami impikan dan menjadi idealis, maka kami dikatakan tidak realistis. Saat kami mengejar kesempurnaan, maka kami dikatakan perfeksionis dan terlalu berambisi. Dulu diajarkan bahwa yang terpenting adalah usaha dan berjuang, kini kami diharuskan memiliki koneksi dan yang berarti adalah hasil pencapaian.

Itu semua merupakan pukulan besar bagi kami. Di mana kami selalu mempercayai nilai - nilai yang ada sejak kecil, kami mempercayai diri kami sendiri beserta semua keputusan kami, dan di mana kami selalu mencari landasan dan bukti nyata untuk setiap keputusan dan keyakinan kami, adalah menyesakkan saat kami harus mempercayai dan menerima suatu nilai yang bahkan tanpa dasar, landasan, dan argumen yang jelas.

"Apakah idealis itu sendiri salah? Gue pikir semua orang dilahirkan idealis. Dan anak - anak kecil adalah sosok yang idealis. Kalau idealis itu sendiri tidak benar, maka untuk apa ada cita - cita? Bukankah cita - cita itu adalah sesuatu yg sempurna, maka kita jadikan itu cita - cita? Bukankah itu menunjukkan bahwa idealis dan perfeksionis itu adalah sesuatu yang harus?"

"Kalau bisa the best, kenapa harus second best? Buktinya banyak orang - orang yang berharap bisa seperti anak - anak, bisa berterus terang dan idealis seperti mereka. Tapi kenapa idealis dan perfeksionis itu sendiri jadi salah? Saat gue berusaha untuk perfeksionis, yang ada gue diharuskan untuk menerima keadaan apa adanya, menerima kegagalan dan kekurangan sebagai sesuatu yang wajar, menerima menjadi second best. Sebagian orang mengagumi tapi sebagian lagi mencemooh orang yang idealis dan perfeksionis. Dan gue ga terima saat gue disalahkan dengan bukti yang menurut gue enggak nyata."

"Gue jadi berpikir tentang dua orang yang ada di hadapan gue, yang nanya itu orangnya pemabuk, penjudi, penjilat. Sedangkan yang ngomongin dia adalah orang yang dibenci sekantor dan enggak punya prestasi apa - apa. Jadi sebetulnya yg bermasalah dengan idealisme dan perfeksionis itu siapa?"

Diskusi yang panjang tanpa akhir solusi ataupun pendapat yang pasti, karena sejujurnya aku pun sedang berada dalam phase yang sama, dan aku sendiri belum tahu apa jawabanku. Tapi aku berusaha untuk percaya bahwa idealisme itu harus ada dan baik adanya. Dunia ini mungkin memang tidak ideal, tapi itu kembali kepada bagaimana cara pandang setiap orang. Ideal bagi satu orang belum tentu ideal bagi orang lainnya. Dan pada dasarnya konsep ideal itu sendiri adalah digunakan untuk diri sendiri, apakah diri dan hidup kita sudah sesuai dengan idealisme kita, dan bukan dengan perbandingan dengan orang lain.

Dan kupikir dalam pekerjaan maupun hubungan apapun, semuanya berjalan dengan aturan yang sama seperti hidup. Idealisme akan bergantung kepada siapa pemenang dalam adu idealisme tersebut. Sebagaimana aturan akan diciptakan oleh yg paling berkuasa, begitu juga idealisme. Tapi sesungguhnya idealisme itu bukanlah sesuatu yang baku dan diam. Idealisme adalah perjalanan. Dan tanpa kita pernah berusaha untuk menunjukkan idealisme kita sendiri, maka idealisme kita akan tenggelam dan mau tidak mau kita akan harus hidup dalam idealisme orang lain. Dan selama kita memandang seperti itu, maka selama itu juga idealisme akan menjadi perbandingan dengan orang lain. Padahal seharusnya atau seidealnya, adalah menurut diri sendiri untuk diri sendiri.

Aku berusaha percaya bahwa idealisme ada untuk membuat segalanya menjadi lebih baik, karena aku percaya idealisme adalah sesuatu yg seidealnya dan seharusnya dapat terjadi. Apabila bisa mencapai yg terbaik, mengapa harus puas menjadi yg baik saja? Aku percaya dalam hidup ini segalanya harus diusahakan hingga titik darah terakhir, agar suatu saat nanti tidak ada penyesalan dalam hidup ini.

Sementara perfeksionis, adalah salah satu sikap utama yang dibutuhkan untuk mencapai kondisi ideal tadi. Dengan sikap yang terus ingin sempurna dan sebaik - baiknya, maka keadaan ideal akan lebih mudah untuk diwujudkan. Aku percaya perfeksionis sendiri bukan hal yang buruk. Tidak ada yg salah dengan menjadi seorang yang perfeksionis. Begitu juga dengan tidak ada yang salah untuk menerima kegagalan dan ketidak mampuan. Tetapi menerima kegagalan bukan berarti berhenti. Bukan berarti menerima begitu saja menjadi second best, melainkan semua kegagalan dan ketidakmampuan itu adalah indikasi bahwa kita belum mampu untuk mencapai tingkatan idealisme itu. Dan karenanya kita masih harus berusaha untuk mencapai tingkatan itu, untuk menjadi yg terbaik. Perfeksionisme bukan satu titik, melainkan perjalanan. Keinginan untuk menjadi sempurna, untuk terus berusaha menjadi yg terbaik, untuk tidak menyerah dengan ketidakmampuan dan kegagalan, untuk mencapai idealnya.

Apabila kesuksesan sendiri terbagi atas beberapa dimensi, apalagi hidup ini. Idealisme di mana dan yang mana, tentu semua orang memiliki tolak ukurnya masing - masing. Dan tidak ada yg salah dengan perkataan si B itu. Semuanya benar. Tetapi itu juga menunjukkan bahwa dia (si B) adalah seorang yg idealis. Seorang idealis mengatakan jangan menanyakan hal dan saran pada seorang idealis. Pernyataan itu tidak logic, jadi mana yg benar? Menurutku itu hanyalah ego pribadi si B. Tidak ada yg perlu dibuktikan dan tidak ada yang perlu dipermasalahkan.

Aku masih percaya, selama aku mau, apapun bisa kuraih dan apapun bisa kudapatkan.
MAKE A CHANGE!!!!!

1 komentar: