Assalamualaikum Wr.Wb.

About Me....

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Penulis yang masih muda, meniru. Penulis yang sudah berpengalaman, mencuri ide. ~T.S.Elliot-writer~

MEMBANGUN KEMANDIRIAN BANGSA

Hari ini kita berbicara tentang “membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa.” Apa yang tersurat dan tersirat dari tema pokok diskusi hari ini ? Ada dua hal. Yang satu adalah bahwa kita memang sama-sama merasakan atau bahkan meyakini bahwa setelah 57 tahun merdeka kita telah kehilangan kemandirian. Yang lain adalah bahwa kita tidak mau menerimanya, sehingga kita merasa perlu membangun kekuatan nasional untuk kemandirian bangsa. Membangun kekuatan nasional tidak dapat dilepaskan dari semangat nasionalisme. Pengertian nasionalisme itu memang dipertanyakan dalam dunia yang sedang dalam arus besar globalisasi. Banyak kaum teknokrat kita yang mempertanyakan apakah nasionalisme masih relevan sekarang ini ? Maka masalah ini akan kami bahas cukup panjang lebar. Kalau selama penjajahan yang tiga setengah abad lamanya itu kita dihadapkan pada kekuatan senjata kaum penjajah, yang kita hadapi sekarang bukanlah senjata, melainkan pikiran-pikiran yang membuat kita tidak dapat bergerak secara merdeka. Mengapa ? Bukankah kita negara yang sudah merdeka dan berdaulat penuh ? Memang, tetapi kalau kita berani melanggar pikiran-pikiran yang dominan atau main stream thoughts dari masyarakat internasional, kita dianggap melakukan pelanggaran kontrak, dianggap melakukan contract breuk yang harus dihukum dengan diisolasinya Indonesia dari masyarakat internasional. Beranikah kita menghadapi isolasi dengan segala konsekwensinya ? Musuh kita untuk meraih kembali kemandirian bangsa bukan hanya aturan main yang ditentukan oleh lembaga-lembaga internasional, tetapi di dalam Indonesia diperkuat oleh sekelompok elit intelektual bangsa Indonesia yang besar pengaruhnya dalam pembentukan opini publik, betapapun tidak masuk akalnya pikiran-

pikiran mainstream yang menjelma menjadi aturan, konvensi, dogma dan doktrin yang bagaikan sabda Tuhan yang mutlak. Kita tidak mungkin memperoleh kembali kemandirian kalau kita tidak berani melakukan terobosan yang inovatif dan kreatif. Inovasi dan kreativitas memang selalu harus menerobos penghalang yang sudah menjadi aturan main, konvensi, dogma dan doktrin. Namun untuk melakukan itu semuanya ada biayanya, ada resikonya dalam bentuk kesengsaraan sementara. Ketika itu nanti terjadi, adalah para komprador dan kroni bangsa kita sendiri yang menghujat dan menakut-nakuti melalui penguasaan dan pengendalian pembentukan opini publik. Ini tidak mengherankan. Dalam setiap zaman selalu ada saja pengkhianat bangsa, komprador dan kroni yang dengan bangga dan dengan senang hati menyediakan dirinya untuk melayani kepentingan kekuatan-kekuatan global ketimbang membela kepentingan rakyatnya sendiri. Dalam bidang ekonomi kelompok ini sangat kuat karena mereka berkesempatan membangun jaringan nasional maupun internasional. Mereka adalah Mafia Ekonom Orde Baru. Maka untuk meraih kemandirian, kita harus menggalang kekuatan nasional untuk melibas atau paling tidak mengkerdilkan pengaruh Mafia Ekonom Orde Baru itu. Mereka tidak punya pendirian. Mereka sudah mulai berpengaruh ketika Bung Karno mendirikan KOTOE. Mereka menjadi pemegang kendali mutlak selama zaman Orde Baru. Dalam era Gus Dur, mereka melekatkan diri melalui pembentukan berbagai dewan penasihat, tim asistensi dan sebagainya yang disponsori dan dipaksakan kepada Gus Dur oleh kekuatan-kekuatan internasional. Dalam era Megawati sekarang ini, mereka bahkan mengendalikan banyak Eselon I dan II dari semua departemen dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB) yang rapi bagaikan kabinet. Para angggotanya tidak patuh kepada Presiden Megawati, tetapi kepada Presidennya sendiri yang dilengkapi dengan para Menteri tanpa bentuk pula, tetapi de facto yang berkuasa atas bagian-bagian penting dari birokrasi resmi. Bagaimana caranya ? Slogan para komprador itu adalah bahwa nasionalisme sudah mati dan tidak relevan lagi dengan arus globalisasi yang semakin hari semakin deras. Doktrin mereka adalah bahwa Indonesia harus menjadi bagian dari borderless world, tidak boleh memasang pagar apapun juga untuk melindungi dirinya sendiri. Sistem lalu lintas devisa haruslah bebas mengambang total, BUMN harus dijual kepada swasta, sebaiknya swasta asing, karena hanya merekalah yang mampu mengurus perusahaan. Pendeknya liberalisasi total, globalisasi total, dan asingisasi total. Slogan propaganda mereka adalah “Apakah A Seng lebih baik daripada Asing ?”, dan “BUMN minta diinjeksi uang oleh pemerintah, tetapi perusahaan asing membayar pajak kepada pemerintah.” Maka dalam rangka membangun kekuatan nasional, yang pertama harus kita lakukan adalah menumbangkan doktrin-doktrin anti nasionalisme yang terus menerus tanpa bosannya harus kita ulangi lagi dan ulangi lagi. Cara inilah yang diterapkan oleh Bung Karno dalam menggalang kekuatan nasional. Mafia Ekonom Orde Baru paham betul tentang hal ini. Itulah sebabnya mereka mencemooh yang ingin menggalang kekuatan nasional melalui kampanye atau pengulangan tentang yang salah dan perbaikannya akan diperjuangkan sebagai membosankan, tidak mempunyai pokok pembicaraan lain, sudah kuno, dan seterusnya. Marilah kita bahas apakah benar bahwa nasioanlisme memang sudah mati dan tidak relevan lagi ? Tidak dapat dipungkiri bahwa tatanan dunia telah berubah banyak, dan globalisasi adalah hal yang riil. Namun kalau dikatakan bahwa nasioanlisme sudah mati dan tidak relevan lagi adalah kesalahan besar. Lagi-lagi adalah kelompok Mafia Ekonom

Orde Baru yang sangat gigih menyuarakan bahwa nasionalisme adalah bagaikan katak dalam tempurung, hanya dianut oleh orang-ornag kuno yang tidak berpendidikan dan sudah sangat ketinggalan zaman tentang bagaimana dunia bekerja. Presiden George W. Bush, baik dalam tutur katanya maupun dalam simbolisme-nya jelas seorang nasionalis sejati. Setiap hari dia menyematkan pin bendera Amerika Serikat pada dadanya, hal yang dilakukan oleh banyak dari para menterinya. Lebih dari itu, Bush menganjurkan supaya setiap orang Amerika setiap harinya menyematkan bendera Amerika di dadanya, dan hampir setiap department store menjualnya. Sebaliknya dengan susah payah saya mencari pin bendera merah putih di Jakarta dan tidak berhasil dengan kwalitas yang baik. Akhirnya saya membelinya dari Amerika melalui internet. Sekarang dengan mengacu pada pengalaman di tahun 1942, semua majalah di Amerika dianjurkan untuk memasang bendera Amerika pada cover-nya. Kata-katanya adalah : “July 1942 United we stand. In July 1942, America’s magazine publishers joined together to inspire the nation by featuring the American flag on their covers. Be inspired.” Bagaimana Mafia Ekonom Orde Baru ? Beranikah Anda menghujat Amerika sebagai ketinggalan zaman, katak dalam tempurung, tidak mengerti globalisasi dan seterusnya ? Pada tanggal 18 Maret 2002 Uni Eropa berkumpul di Barcelona menyelenggarakan konperensi tingkat tinggi yang kesimpulannya penuh dengan nasionalisme Eropa. Memang sudah bukan negara-negara Eropa secara individual, tetapi menjadi Uni Eropa. Jelas sekali semangat kebangkitan kembali nasioanlisme Eropa yang terang-terangan membandingkan dirinya dengan Amerika Serikat dengan semangat yang tidak mau kalah. Kita tidak perlu mengemukakan fakta-fakta betapa Malaysia, Jepang dan RRC tidak pernah tidak nasionalistis. Jauh sebelum itu, Edith Cresson sebagai Menteri Perdagangan Perancis membeli paberik elektronik Thomson dengan teknologi primitif untuk dijadikan BUMN. Paberik ini dibeli dan dijadikan BUMN karena kalah bersaing dengan Jepang dan mengalami kerugian besar. Ketika ditanya oleh parlemen Perancis mengapa, karena tidak menguasai hajat hidup orang banyak, dijawab bahwa dia tidak bisa melihat pasaran cosumers electronics Perancis di dominasi oleh Jepang. Bukankah ini nasionalisme ? Ataukah harus dikatakan bahwa parlemen Perancis adalah katak dalam tempurung ? Philips membeli Grundig yang adalah saingannya dan hampir bangkrut. Ketika saya tanyakan langsung kepada Prof. Dekker, Komisaris Utama Philips dia menjawab bahwa dia tidak bisa menerima pasaran elektronik Jerman didominasi oleh Jepang. Ketika Hollywood dibeli oleh Sony, Sony dibuat bangkrut oleh para artis yang menandatangani kontrak dan terang-terangan tidak muncul ketika harus dibuat filmnya. Mereka menantang Sony supaya semua artis dituntut. Apakah sikap ini bukan nasionalisme Amerika ? Dan apakah ini nasionalisme sempit ? Ketika IMF menekan kami untuk membebaskan bea masuk beras dan gula sampai nol persen, Eropa, Amerika dan Jepang memberlakukan bea masuk yang tinggi untuk produk-produk pertanian demi melindungi para petaninya. Apakah itu bukan nasionalisme, yang bahkan sangat tidak adil dan mau menangnya sendiri ? Dengan mengatakan ini saya menjalani resiko disebut kampungan, karena hanya dapat menyebutkan fakta-fakta dari negara lain, tetapi tidak mempunyai daya nalar untuk menjelaskan mengapa nasionalisme masih relevan dalam era globalisasi yang semakin dipicu oleh revolusi micro chips dan revolusi telekomunikasi yang masih belum berakhir ?

Mungkin saya kampungan. Namun izinkanlah saya memeras otak mencoba memahami fenomena yang sedang berlangsung tanpa memusnahkan bangsa sendiri, dan tanpa membuat bangsa kita menjadi kuli di negaranya sendiri dan menjadi bangsa kuli dari bangsa-bangsa lainnya di dunia. Para Hadirin Yth., Tadi telah saya katakan bahwa kita tidak mungkin membangun kekuatan nasional tanpa dilandasi oleh semangat nasionalisme, karena semangat nasionalisme itulah yang merupakan ruhnya kekuatan nasional. Tetapi nasionalisme itu sendiri sekarang di persimpangan jalan. Maka marilah kita berupaya memperoleh kejelasan terlebih dahulu tentang hal ini. Memang harus diakui bahwa walaupun kita telah merdeka 57 tahun lamanya, pengertian dan penghayatan nasionalisme oleh banyak orang, dibawah sadarnya masih banyak didominasi oleh nasionalisme pra kemerdekaan, baik yang membela maupun yang menentangnya, termasuk Mafia Ekonom Orde Baru. Karena itulah Mafia Ekonom Orde Baru tidak dapat membayangkan adanya perasaan nasionalisme yang dapat bersinergi dengan globalisasi. Nasionalisme pra kemerdekaan fokusnya sederhana dan tunggal, yaitu menumbangkan resim kolonial untuk menjadi negara yang merdeka dan berdaulat. Apakah founding fathers kita tidak pernah memikirkan apa yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia setelah memperoleh kemerdekaannya, serta apa tujuan yang lebih lanjut dari sekedar merdeka secara politik ? Kalau kita mempelajari sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa kita, jelas sekali jangakauan pemikiran para founding fathers kita yang sangat luas dan jauh kedepan. Bung Hatta sendiri merupakan monumen dalam pemikiran pembangunan ekonomi. Tetapi karena perjuangan kemerdekaan itu sendiri adalah perjuangan yang panjang dan sangat berat, fokus segala pemikiran dan upaya memang seolah-olah hanya terpusat pada kemerdekaan politik belaka. Kemudian setelah kita merdeka, kita langsung dihadapkan pada masalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan sebagai nation state yang kokoh dan bersatu padu. Segala pemikiran dan upaya disedot oleh pemahaman dan penghayatan negara bangsa, atau oleh nation and character building. Yang saya rasakan, betapa sedikitnya generasi saya (apalagi generasi muda sekarang) yang memahami dan menghayati betapa sulitnya menempa penduduk negara kepulauan kita menjadi satu bangsa kesatuan, terutama setelah dijajah dengan politik divide et empera selama 3,5 abad. Kurangnya penghayatan inilah yang membuat banyak di kalangan elit kita mencemooh Bung Karno sebagai diktator demagoog yang hanya pandai mengombang ambingkan sentimen massa dengan retorikanya yang kosong dan keblinger, tetapi tidak becus mengurus perekonomian negaranya. Namun banyak juga yang bisa melihat sisi lain dari periode kepemimpinannya, yaitu panggilan sejarah untuk memimpin di dalam sebuah periode pembentukan persatuan dan kesatuan negara bangsa yang baru saja merdeka, tetapi bangsa yang sangat pluralistik dengan kepulauannya, yang selama 3,5 abad dijajah dengan cara divide et empera tadi. Maka bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode perjuangan keras dan sulit, melalui segala trial and errors-nya untuk tiba pada pembentukan nasion dan karakter bangsa dengan negara kesatuan yang mengenal sistem kabinet presidensiil, yang terobsesi terhadap pengambilan keputusan secara musyawarah dan mufakat, tetapi tidak mengharamkan pemungutan suara kalau alternatifnya adalah tanpa keputusan atau kekalutan. Dan karena itu, menjadi negara bangsa yang demokrasinya bisa menghindari diktatur mayoritas dan tirani minoritas. Bangsa yang tidak menganut faham bahwa konsensus nasional adalah 50 % ditambah 1. Bangsa yang secara moril melalui obesesi musyawarah mufakat selalu mendengarkan

dan mencoba meyakinkan minoritas sampai habis-habisan sebelum mengambil jalan pintas melalui pemungutan suara. Bangsa, yang partai mayoritasnya tidak meninggalkan ruang sidang untuk ke WC atau minum kopi selama partai minoritas berbicara, dan hanya masuk untuk menolak segala usulannya. Tetapi bangsa yang mayoritasnya terobsesi untuk mencapai keputusan secara musyawarah dan mufakat, sehingga mendengarkan dan menanggapi minoritas secara sungguh-sungguh, walaupun minoritasnya hanya 10% saja. Pembentukan bangsa bercirikan pluralistik yang mempunyai satu bahasa nasional. Bangsa dengan toleransi beragama yang sulit dicari duanya. Masih segar di dalam ingatan kita keinginan Quebec di Kanada untuk memisahkan diri karena kesatuan bahasa mereka yang lain dengan bagian-bagian lain dari Kanada, yaitu Perancis versus Inggeris. Masih kita saksikan sampai sekarang betapa bangsa Irlandia yang letaknya di Eropa Barat itu masih saling membunuh karena perbedaan agama. Masih segar juga di ingatan kita betapa bangsa Belgia yang sekecil itu dan juga terletak di Eropa Barat masih saling membunuh karena perbedaan bahasa di kalangan mereka. Kalau kita tempatkan kondisi kita dalam perspektif ini, sia-siakah periode antara 1945 dan 1966 yang diwarnai oleh pergulatan keras dan tampak semerawut itu untuk pembentukan nasion dan karakter ? Dan apakah itu bukan nasionalisme yang masih besar dampak poistifnya sampai hari ini ? Bung Karno juga dicemooh sebagai orang yang suka gemerlapan, suka terhadap proyek-proyek mercu suar. Yang dijadikan ajang ejekan ketika itu adalah pembangunan Hotel Indonesia, Tugu Monumen Nasional dan jalan-jalan raya Thamrin, Jenderal Sudirman, Jenderal Gatot Subroto, bypass ke Tanjung Priok dan sebagainya. Tetapi begitu berkuasa, para pengejek itu langsung saja membangun proyek-proyek yang jauh lebih banyak dan jauh lebih megah daripada era Bung Karno. Kantor-kantor pemerintah dibangun sebagai gedung-gedung pencakar langit yang sangat mewah, walaupun dibiayai dengan utang. Sebaliknya, dapatkah kita membayangkan apa jadinya Jakarta sekarang tanpa jalan-jalan tersebut ? Dalam waktu singkta, jalan-jalan yang dinamakan mercu suarnya Bung Karno itu menjadi macet, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru merasa wajar-wajar dan sah-sah saja membangun jalan tol yang dimonopoli oleh Ibu Tutut Soeharto. Bisakah kita membayangkan bagaimana Jakarta tanpa Hotel Indonesia sebelum munculnya hotel-hotel berbintang lainnya ? Hotel Indonesia juga menjadi kerdil dalam waktu singkat, dan para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru itu merasa wajar-wajar dan sah-sah saja bahwa kredit dalam jumlah raksasa dipakai untuk mendanai pembangunan hotel-hotel mentereng, terutama Hotel Grand Hyatt dengan serampangan yang akhirnya menjadi macet semuanya. Setelah semua bank rusak, para teknokrat Mafia Ekonom Orde Baru juga merasa normal-normal saja bahwa pemerintah menginjeksi dengan surat utang yang berpotensi membengkak sampai menjadi kewajiban membayar dengan jumlah ribuan trilyun rupiah. Mengapa ? Karena IMF menganggap wajar. Dengan mengemukakan ini semuanya, saya hanya ingin mengingatkan betapa tipisnya apresiasi dan penghayatan kita terhadap perspektif sejarah dari nasionalisme, yang dari periode ke periode mempunyai panggilan zamannya sendiri-sendiri, yang membutuhkan gaya kepemimpinan yang sendiri-sendiri pula, dan yang mempunyai prioritasnya sendiri-sendiri pula, karena keterbatasan kita sebagai manusia untuk melakukan segalanya seketika. Bagi saya, periode antara 1945 sampai 1966 adalah periode pembentukan negara bangsa yang produktif dan telah menghasilkan kehidupan bernegara dan berbangsa seperti yang saya gambarkan tadi. Eksesnya ada, tetapi zaman apa yang tidak membawa ekses ? Periode ini adalah tahap akhir dari nasionalisme lama. Dengan nasion seperti itu sebagai landasan, kita memulai periode baru di tahun 1966 dibawah kepemimpinan Pak Harto. Periode ini bercirikan pembangunan ekonomi secara pragmatik dan teknokratik. Stabilitas sebagai syarat mutlak bagi pembangunan ekonomi

yang berkesinambungan diserahkan kepada ABRI. Strategi pembangunan diserahkan kepada kaum teknokrat yang berintikan para cendekiawan dari Universitas Indonesia. Kekalutan moneter ditanggulangi dengan terbosoan-terobosan sanering uang panas. Inflasi yang 600% diturunkan sampai pada proporsi yang wajar melalui penarikan uang dengan insentif pemutihan modal dan bunga deposito yang sampai 60% setahun. Hubungan dengan lembaga-lembaga internasional dan dengan negara-negara Barat yang membeku dibuka kembali, yang memungkinkan mengalirnya bantuan luar negeri dan investasi modal asing. Berbagai insentif bagi penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri diberikan, seperti yang tertuang di dalam undang-undang PMA dan PMDN. Hasilnya menjakjubkan. Angka-angka statistik mengenai pertumbuhan meyakinkan, sedangkan secara fisik dapat kita saksikan, bahwa praktis tidak ada lagi jalan yang berlubang-lubang. Sandang dan pangan serba cukup kalau dibandingkan dengan situasi tahun 1965-1966. Di kota-kota kecil dan pedesaan kita saksikan kemakmuran dan kesejahteraan yang mencolok kalau dibandingkan dengan tahun 1965-1966. Di perkotaan, terutama di Jakarta, asalkan kita tidak memasmuki daerah-daerah kumuh, kita tidak merasa berada di negara yang sedang berkembang. Jalan-jalan macet dengan mobil yang harganya ratusan juta sampai milyaran rupiah. Para entrepreneur dan eksekutif berlalu lalang di restoran-restoran dan hotel-hotel termahal yang harganya dicantumkan dalam US $, dan tidak kalah mahal dengan negara-negara maju. Indonesia yang mengenal sistem lalu lintas devisa bebas dan membuka pintu lebar-lebar terhadap modal asing memang terkait erat dengan intensifnya sebuah gejala yang kita kenal dengan globalisasi. Seorang eksekutif dari perusahaan transnasional garmen di New York yang mengendalikan perusahaannya di seluruh dunia melalui tilpun, facsimile, computer dan modemnya, lebih tergantung pada para perancangnya yang ada di Itali, para akhli marketingnya yang ada di Paris, para pemasok mesin yang ada di Jepang dan para konglomerat eksportir tukang jahit yang ada di Jakarta, daripada perusahaan-perusahaan yang ada di tetangganya di New York. Banyak dari wiraswasta kita yang lebih tergantung pada sumber dana dan pasar internasional daripada sumber dana dan pasar domestik. Banyak usahawan kita yang bermitra dengan perusahaan-perusahaan atau para hartawan internasional, yang beraneka ragam tingkat kemandiriannya di dalam perusahaan patungan itu. Perusahaan transnasionalnya merasa dia lihay karena bisa menggunakan orang sangat ternama menjadi kompradornya. Sebaliknya orang Indonesia yang bersangkutan sangat bangga, bahwa dia bisa menjadi kaya tanpa modal dan tanpa konsep, asalkan nurut saja dengan keinginan mitra asingnya. Mereka berpendidikan Barat, bisa bergaul dan berbahasa Inggeris dengan fasih. Perilaku dan tata nilainya mengenai apa yang sopan dan apa yang tidak sopan sudah Barat. Basa basi dan humornya sudah Barat. Dia adalah kosmopolit yang universal. Di luar negeri, terutama di negara-negara maju dan kaya, dia mempunyai villa yang mentereng dan mobil yang mahal. Dalam suasana seperti ini lalu muncul kelompok cukup berpengaruh yang mulai beranggapan bahwa nasionalisme sudah mati. Nasionalisme adalah mencapai kemerdekaan politik. Urusan mempertahankan kemerdekaan supaya tidak di aneksasi oleh negara lain adalah urusan ABRI yang mereka gaji melalui pembayaran pajak. Urusan keamanan dan kententeraman adalah urusan polisi yang juga mereka gaji melalui pembayaran pajak. Demikian juga dengan para birokrat yang menjaga, supaya kehidupan ini menjadi nyaman, tenteram dan damai, supaya mereka bisa berkiprah secara kontinu. Ya, itu semuanya diakui. Tetapi terkadang dirasakan menjengkelkan karena memeras. Maka kalau perlu, digantilah fungsi douane dengan SGS. Tetapi mereka adalah kelompok kosmopolit yang universal. Mereka yang mengendalikan

arus barang, arus jasa dan arus uang yang tidak mengenal batas-batas negara. Merekalah yang membangkitkan pendapatan dengan jaringan nasional maupun jaringan internasionalnya. Mereka yang mengalami setiap menit, bahwa uang tidak mengenal batas-batas negara. Negara bangsa adalah mesti, karena biasanya memang harus ada, walaupun nyatanya batas-batas politiknya pun bisa berubah-ubah seperti yang sedang terjadi di Eropa, baik Barat maupun Timur. Negara bangsa atau nation states mempunyai kehidupannya sendiri, sedangkan satuan-satuan produksi, distribusi dengan jaringan internasionalnya adalah corporate states yang batasan-batasannya tidak sama dengan batasan-batasan wilayah geografis dan politik. Karena itu, bagi mereka nation states haruslah berfungsi dan bersifat melayani corporate states, harus ondergeschikt pada corporate states. Mereka heran apabila dalam zaman seperti ini masih ada orang yang betreriak nasionalisme dan patriotisme. Apa yang mau dijadikan sasaran patriotisme-nya ? Walaupun ada, dan bahkan cukup banyak dan cukup besar lobi dan pengaruhnya dari kelompok yang baru saya gambarkan tadi, tetapi di tengah-tengah bangsa kita toh masih ada yang berpendapat dan berkeyakinan bahwa nasionalisme dan patriotisme masih relevan. Saya termasuk kelompok ini. Maka menjadi menarik apa argumentasinya ? Punyakah kita argumentasi yang sekuat argumentasi mereka ? Bukankah kaum nasionalis di zaman sekarang orang-orang kerdil, sempit seperti katak di dalam tempurung ? Perlukah manusia merasa mempunyai ikatan sebagai bangsa, kalau dunia ini sudah terkait dengan komunikasi dan transparansi yang demikian intens-nya ? Memang manusia selalu membutuhkan kelompok. Tetapi bukankah kelompok ini diikat dengan kepentingan materi melalui uang yang konvertibel di seluruh dunia ? Bukankah kesetiaan kita yang relevan adalah kesetiaan kepada coprorate state-nya masing-masing yang bisa mempunyai markas besar di mana saja atas dasar pehitungan untung rugi materialistik dan pragmatik ? Kalau memang ada ikatan dalam rangka negara bangsa atau nation state yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan meyakinkan, itulah nasioanlisme baru yang bisa menjawab tantangan zaman sekarang. Adakah itu ? Bagaimana gambarannya, apa bentuknya dan apa argumentasinya ? Marilah kita telusuri. Izinkanlah saya memulai dengan dialog dalam kampanye pemilu yang untuk pertama kalinya saya alami di dalam hidup saya, yaitu di bulan Maret tahun 1987 di Petak Sinkiang, Jakarta. Ketika kepada massa saya tanyakan, kalau saya hidup di dalam keluarga yang sangat rukun dan harmonis, apakah berarti kita memusuhi keluarga tetangga kita ? Massa menjawab serentak dengan "tidaaak". Lalu saya tanyakan lagi, kalau satu RT sangat rukun, saling membantu dan harmonis, apakah RT itu mesti bermusuhan dengan RT lainnya ? Dijawab lagi "tidaaak". Karena dalam rangka kampanye, lalu saya tanyakan lagi, apakah kalau warga PDI bersatu padu, memperkuat diri, memperbaiki diri, saling asah, asih dan asuh, apakah dengan sendirinya bermusuhan dengan PPP dan GOLKAR ? Dijawab lagi dengan "tidaaak". Saya bertanya lagi, bagaimana kalau partai politik, RT, RW dan keluarga kita bubarkan saja, karena toh tidak relevan ? Dengan serentak dijawab lagi : "tidaaak". Setibanya di rumah saya merenung, mengapa saya tanyakan yang terakhir, yaitu apakah tidak lebih baik dibubarkan saja kalau tidak berhadapan dengan musuh bersama ? Saya tiba pada kesimpulan, bahwa di bawah sadar, saya ternyata kerdil, karena saya hanya melihat manfaat pembentukan kelompok kalau menghadapi musuh. Saya tidak melihat bahwa pembentukan kelompok yang mempunyai kesamaan, apapun kesamaan itu, ternyata mempunyai daya sinergi untuk membangkitkan hal-hal yang baik dan berguna bagi umat

manusia. Tetapi massa yang "bodoh" itu, secara naluriah ternyata pandai. Maka mereka berpendapat, bahwa walaupun tidak ada musuh, pembentukan kelompok tetap perlu, tetap tidak perlu dibubarkan. Berlakukah opini yang demikian itu bagi negara bangsa ? Maka yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, apakah negara bangsa yang sudah tidak mempunyai musuh penjajah lagi masih berguna ? Apakah negara bangsa yang kecuali tidak dijajah, juga semakin lama semakin tidak mempunyai perbedaan ideologi lagi dengan bangsa-bangsa lainnya, masih relevan dipertahankan ? Beberapa entrepreneur dan eksekutif tadi mengatakan masih perlu, tetapi hanya untuk menjaga ketertiban, menjaga keamanan dan keselamatan bagi dirinya, serta membangun infra struktur yang dibutuhkan oleh corporate state-nya. Maka baginya, nation state haruslah tunduk dan hanya melayani corporate state yang mereka miliki dan kendalikan. Tadi telah saya katakan bahwa saya bukan penganut faham yang demikian. Saya tetap yakin, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang selalu membutuhkan identifikasi dengan kelompok yang mempunyai kesamaan-kesamaan tertentu. Kesamaan yang paling mendasar adalah kesamaan senasib sepenanggungan dan atas dasar ini mempunyai kehendak membentuk negara bangsa. Kelompok sebagai bangsa selalu mempunyai naluri mengambil nilai tambah dari bangsa lainnya. Caranya yang paling primitif adalah peperangan fisik, saling memusanahkan dan saling menghalau, supaya memperbesar lahan nafkahnya. Peperangan-peperangan yang demikian adalah peperangan-peperangan kecil dari suku-suku primitif atau tribeswar. Dalam bentuknya yang sudah lebih modern lagi, negara bangsa yang lebih kuat menaklukkan dan menjajah bangsa lainnya dengan senjata. Tujuan akhirnya adalah melakukan penghisapan nilai tambah dari negara yang terjajah. Maka kolonialisme menjadi mode di mana-mana di seluruh penjuru dunia, dan kita menjadi korban Belanda selama 3,5 abad. Dengan dimensi yang lebih modern dan lebih besar lagi, Jerman Nazi di belahan Eropa dan Jepang di belahan Asia Timur ingin menundukkan bangsa-bangsa di sekitarnya untuk mengambil nilai tambah dari seluruh Eropa bagi Jerman dan di seluruh Asia Timur Raya bagi Jepang. Jepang, bahkan ingin melebarkan sayapnya lagi ke Pasifik dengan menggempur Pear Harbour. Berkecamuklah Perang Dunia ke II yang diakhiri dengan bom atom yang dahsyat. Setelah itu, terbentuk pengelompokan-pengelompokan antar negara dengan blok-blok superpowers, NATO dan Pakta Warsawa, masing-masing dibawah pimpinan Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Mereka mulai melakukan perlombaan persenjataan. Tetapi senjatanya sudah bukan bom atom lagi, melainkan yang lebih dahsyat lagi, yaitu bom dan rudal nuklir. Kalau sampai senjata itu dipakai di dalam pertempuran dengan skala global, akan musnahlah semua kehidupan di bumi ini. Jepang dan Jerman yang dikalahkan dalam perang dunia ke II nampaknya yang paling jeli mengenali, bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsa lain tidak bisa lagi dilakukan dengan senjata. Karena senjatanya sudah nuklir dengan daya musnah yang sangat dahsyat, pengambilan nilai tambah melalui penjajahan dengan senjata yang mengundang peperangan nuklir tidak akan terjadi. Tidak akan terjadi, karena manusia juga mempunyai naluri mempertahankan diri. Maka Jepang dan Jerman, tetapi terutama Jepang yang paling mengerti dan segera mempraktekkan bahwa pengambilan nilai tambah dari bangsa-bangsa lain memang tidak berbeda dengan peperangan antar bangsa, tetapi senjatanya harus diganti dengan senjata teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya harus diganti dengan perusahaan-perusahaan transnasional. Kegiatan intelijen sangat penting, tetapi yang dicuri sekarang adalah rahasia membuat micro chips, dan mencuri teknologi paling canggih. Mereka membuat dirinya unggul dalam produksi, distribusi, dalam pemenuhan kebutuhan manusia seluruh jagad, dan melalui cara ini selalu sangat jeli dan tajam menggait nilai

tambah yang setinggi-tingginya. Caranya sangat beragam disesuaikan dengan situasi dan kondisi negara bangsa yang sedang "dikerjain". Yang masih primitif dijadikan ajang mencari bahan baku dan pasaran bagi barang jadinya. Yang lebih canggih disuruh menjadi tukang jahit. Yang buruhnya masih murah dimasuki dalam bentuk merelokasi industrinya yang di negaranya sendiri sudah usang. Kalau sudah sangat canggih seperti Eropa Barat dan AS dimasuki dengan investasi langsung, membeli real estate, membeli salah satu studio terbesar di Hollywood, dan seterusnya dan sebagainya. Caranya bermitra juga sangat luwes. Yang bisa dijadikan komprador boneka ya dijadikan kopmrador. Yang agak pandai dan ingin mempunyai suara sedikit dalam pengambilan keputusan ya dijadikan eksekutif sesuai kemampuannya. Tetapi selalu didasarkan atas perhitungan yang tajam. Senjatanya, sekali lagi, adalah manajemen dan teknologi. Maka tidak tertutup kemungkinan bahwa nilai tambah yang diraih dari negara-negara terbelakang oleh negara-negara maju sangat besar. Mungkin sekali jauh lebih besar daripada ketika menjajah model kuno zaman kolonial abad ke 18. Tetapi di dalam penampilannya ada perbedaan yang sangat besar. Kalau dulu yang terjajah merasa sangat dihina, merasa sakit dan juga secara materi merasa sengsara. Sekarang lain lagi. Yang dijajah adalah negara yang sudah merdeka dan berdaulat. Elit yang berkuasa tidak merasa dihina. Mereka menjadi kaya dan mentereng karena korupsi, walaupun pada hakekatnya adalah komprador suruhannya belaka. Tetapi kalau yang menjadi suruhan didukung oleh pemerintah dari negara yang merdeka, dan toh bisa menjadi kaya raya, dan dengan kekayaannya ini lalu bisa sangat bergaya di negaranya sendiri maupun di mana saja di seluruh penjuru dunia, penggaitan nilai tambah yang demikian bisa dirasakan sangat nyaman oleh yang sedang di eksploitasi. Dari uraian tadi jelas, bahwa percaturan dunia diwarnai oleh hubungan antar negara yang semuanya sudah merdeka secara politik, menyempitnya perbedaan ideologi antar negara, sedang berlangsungnya proses regionalisasi negara bangsa di mana-mana, menciptakan pengelompokan-pengelompokan baru atas pertimbangan yang lebih banyak di dominasi oleh pertimbangan ekonomnis, tetapi di motori oleh semangat nasioanlisme baru dengan daerah geografis yang lebih luas. Nasionalisme baru adalah nasionalisme yang mengenali dengan tajam interaksi antarbangsa zaman sekarang dan mampu mengantisipasi perkembangannya. Maksudnya tidak hanya memantau sambil menutup dirinya, tetapi ikut bermain di dalam percaturan dan interaksi antar bangsa di dunia. Namun orientasi dari pengenalan dan kewaspadaan ini bukan untuk kemakmuran orang seorang, melainkan untuk seluruh bangsanya seadil mungkin. Semanagt nasioanlisme baru dalam menciptakan dan merebut nilai tambah tidak mau kalah dengan bangsa lain, tetapi tidak melalui penutupan diri, melainkan melalui semangat saling mengungguli. Dengan demikian, seorang nasionalis baru adalah orang yang menghitung dengan tajam dan enggan menerima tawaran menjadi komprador mitra dagang asing, kalau dari perhitungannya dia tahu bahwa nilai tambah secara tidak adil dan tidak seimbang lebih menguntungkan mitra asingnya daripada bangsanya. Seorang nasionalis baru adalah orang yang merasa sangat terganggu ketika di luar negeri menyaksikan alangkah kalahnya negaranya sendiri dalam segala bidang, dalam kemakmuran, dalam penguasaan teknologi dan manajemen, dalam kebersihan, dalam keadilan sosialnya, dan menterjemahkan rasa malu itu ke dalam semangat tidak mau kalah dan ingin mengejar ketinggalannya. Orang yang bukan nasionalis baru adalah orang yang ketika menyaksikan semuanya itu lalu berkeinginan menetap saja di luar negeri, atau tidak

menetap, tetapi membeli rumah, mobil, minta izin tinggal, supaya dari waktu ke waktu bisa menikmati kemakmuran negara lain itu, dan memikirkan bagaimana dia bisa meningkatkan kemakmurannya di luar negeri yang sudah nyaman dengan menggait nilai tambah dari negaranya sendiri, kalau perlu hanya sebagai komprador saja. Seorang nasionalis baru ketika mengunjungi paberik langsung melakukan catatan-catatan dan pemotretan-pemotretan dengan semangat ingin meniru membuat barang. Orang yang bukan nasionalis baru hanya berkeinginan memilkiki produk untuk konsumsinya sendiri supaya bisa lebih bergaya. Seorang yang bukan nasionalis baru tanpa perasaan terganggu memakai barang mewah buatan luar negeri dengan bangganya, sedangkan nasionalis baru juga memakainya, tetapi selalu diliputi perasaan penasaran mengapa bangsanya tidak bisa membuat barang yang sama. Seorang yang bukan nasionalis baru mau saja bermitra dengan perusahaan asing untuk menggait nilai tambah bagi si asing tanpa perasaan terganggu. Seorang nasionalis baru mungkin juga melakukan dan berbuat yang sama, tetapi selalu diganggu oleh perasaan penasaran, mengapa dia tidak bermitra juga dengan perusahaan asing di negara si asing juga, supaya sama derajatnya. Seorang nasionalis baru berusaha keras supaya memperlakukan para akhli Indonesia sama dan sederajat dalam perlakuan, dalam kepercayan dan dalam penggajian dengan para akhli asing, asalkan pendidikannya di sekolah yang sama di luar negeri, dan pengetahuan yang dimilikinya maupun kepandaiannya sama. Seorang yang bukan nasionalis baru cenderung masih dilekati oleh jiwa yang terjajah, yang selalu lebih menghargai para akhli asing, terutama yang bule, walaupun pilihan yang dihadapinya, yang bangsanya sendiri juga tamatan dari sekolah yang sama, dan bisa menunjukkan bahwa dia paling sedikit sama pandainya, sama pengalamannya, dan lebih mengenal Indonesia daripada para akhli asing itu. Karena nasionalisme baru begitu terkait dengan interaksi bangsa-bangsa lain, ekspor memegang peranan penting. Kalau kita analisa tahapan-tahapan kemampuan sesuatu bangsa dalam ekspor, bisa kita bedakan sebagai berikut : 1. Mengekspor barang buatannya sebagai "tukang jahit". Design, spesifikasi, cara membuatnya, mesin-mesinnya, prosedur produksi dan administrasinya, bahan bakunya, semuanya ditentukan oleh perusahaan asing yang akan menampung produknya untuk dipasarkan di luar negeri. Merk juga harus memakai merk dari prinsipal. Untuk jasanya, mitra Indonesia yang "tukang jahit" ini memperoleh imbalan sekedarnya. Biasanya sangat kecil. Tetapi dari bekerja sebagai "tukang jahit" ini, dia menguasai pengetahuan dan ketrampilan untuk membuat produk yang eksak sama. Maka dia mulai meningkatkan dirinya ke dalam tahapan yang berikutnya, yaitu 2. Membuat barang yang eksak sama, tetapi memakai merknya sendiri. Dengan demikian ternyata bahwa harga pokoknya jauh lebih rendah dari harga yang dijual di luar negeri dengan merk prinsipalnya. Jadi dia sekarang sudah bisa membuat barang yang kwalitasnya eksak sama, tetapi dengan memakai merknya sendiri. Ini adalah tindakan yang sangat prinsipiil dan krusial, karena dia sekarang dipaksa untuk bisa meyakinkan konsumen di luar negeri, bahwa produknya tidak kalah dalam kwalitas, tetapi sangat menang murah dalam harga. Hanya merknya yang masih belum terkenal. Dia harus melakukan promosi dan advertensi supaya merknya dikenal dan diakui sebagai sama baiknya dengan merk lain yang ditiru. Tahap berikutnya adalah : 3. Dia mulai memasukkan features, kemampuan-kemampuan tambahan dari produk yang

tadinya ditiru 100 %. Contohnya adalah PC buatan Taiwan, yang meniru IBM, tetapi ditambah kemampuannya, sedangkan harganya jauh lebih murah. Tindakan ini memperkuat kedudukannya di pasar. Tahapan selanjutnya adalah : 4. Dia sudah berani merubah design produknya supaya tampak lebih indah dan lebih cantik. Dia sudah mulai berani beradu dalam bidang estetika. 5. Dia melakukan penelitan dan pengembangan sendiri, sehingga untuk barang yang fungsinya sama, yaitu memenuhi kebutuhan manusia akan barang yang dihasilkannya, dia sudah mendasarkan diri pada penemuan dan terbosoan teknologi sendiri. Misalnya, TV yang sama-sama TV-nya sudah meningkat dari sistem analog menjadi sistem digital. Musik yang tadinya atas dasar pita diganti menjadi piringan laser, dan sekarang compact disc. Jelas bahwa untuk meningkatkan kemampuan dari tahapan ke tahapan seperti yang digambarkan tadi, orang membutuhkan dedikasi semangat yang luar biasa besarnya. Juga membutuhkan berani mempertaruhkan modalnya untuk pnelitian dan untuk merugi kalau gagal. Pertanyaannya adalah kekuatan apa yang bisa membuatnya demikian, kalau dia sebagai komprador, sebagai tukang jahit saja sudah bisa menjadi sangat kaya ? Kekuatan penggerak atau driving force ini bagi bangsa Jepang dan Jerman jelas adalah obsesi untuk unggul, obsesi supaya seluruh bangsanya disegani dan dihargai di mana-mana diseluruh penjuru dunia. Mereka adalah nasionalis modern. Orang yang bukan nasionalis baru sudah akan sangat puas dengan menjadi kaya sebagai komprador. Kebanggaannya adalah kebanggaan karena dia kaya, dan karena itu bisa hidup di luar dengan gaya orang-orang di luar negeri yang sudah maju. Dia cenderung mengindentikkan dirinya dengan bangsa yang sudah maju di negaranya. Walaupun tidak suka, dia memaksakan dirinya minum wine, lebih menyukai steak, dan bahkan tartar atau daging mentah serta bekecot dengan nama yang lebih keren atau escargot. Dia berbuat sebisanya supaya bisa berbicara mengenai musik klasik Barat, supaya bisa berbicara mengenai lukisan. Dia tidak mempunyai kebutuhan supaya dengan pengalamannya dan kontaknya meningkatkan kemampuan seluruh bangsanya supaya bisa menjadi bangsa yang lebih disegani oleh bangsa-bangsa lain. Sampai sekarang saya hanya berbicara mengenai nasionalisme baru dalam kaitannya dengan percaturan ekonomi dan bisnis dunia, karena dengan telah lama merdekanya Indonesia, dan dengan semakin tiadanya perbedaan ideologi antar bangsa, kegiatan bangsa-bangsa lebih terpusat pada perolehan nilai tambah dari mana saja. Namun dapatkah nasionalisme dan patriotisme ada kalau tidak ada demokrasi dan keadilan ? Kadar besar kecilnya demokrasi sangat berpengaruh terhadap nasionalisme baru. Bagi mereka yang merasa tidak cukup mempunyai hak-hak demokrasi, adalah lumrah apabila mereka ini lambat laun tergelincir pada suasana batin yang apatis, yang masa bodoh. Mereka dalam bentuknya yang ekstrim bisa merasa warga negara kelas dua atau lebih rendah lagi. Mereka tidak lagi atau kurang merasa merupakan bagian dari bangsanya, sehingga semua naluri yang masih ada untuk membela bangsanya secara keseluruhan semakin lama semakin pudar. Karena itu, demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme. Demokrasi memberikan perasaan bahwa dia ikut memiliki negara bangsanya. Karena itu demokrasi adalah syarat mutlak bagi nasionalisme baru yang begitu gamblang, sehingga tidak banyak yang bisa di analisa kecuali menyebutnya. Bagi

saya, kalau kita berbicara mengenai nasionalisme baru, sebenarnya sudah termasuk di dalamnya sebagai satu nafas adalah juga patriotisme, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi. Hanya dengan itu semuanya sebagai satu paket, semuanya menjadi bisa ada. Kalau salah satu daripadanya tidak ada, keseluruhannya menjadi kabur. KESIMPULAN Istilah nasionalisme baru memang pada tempatnya, karena dengan telah lamanya kita merdeka, dan dengan berubahnya dunia dengan segala dinamkianya, fokus nasionalisme yang ingin kemerdekaan bagi bangsa kita secara politik sudah lama kita peroleh. Setelah itu kita dihadapkan pada masalah sangat mendasar, yaitu masalah nation dan character building bagi bangsa yang wilayahnya berkepulauan, pluralistik, berbhineka. Dengan sumpah pemuda, di tahun 1928 kita sudah bertekad untuk membentuk negara bangsa yang berbentuk negara kesatuan, negara yang tunggal ika. Dapat kita bayangkan betapa beratnya periode antara tahun 1945 dan 1966. Seperti tadi telah saya kemukakan, kita telah berhasil dengan cukup gemilang. Dalam mengisi kemerdekaan dengan pembangunan ekonomi secara nyata yang teknokratik dan pragmatik, negara kita terbuka bagi dunia luar. Sektor swasta secara sistematis diberi kesempatan yang lebih besar. Semua orang berkiprah dalam bidang pembangunan ekonomi, dalam bidang produksi dan distribusi. Semuanya berlangsung di dalam suasana interaksi antar bangsa yang semakin intens, di dalam dunia yang semakin mengecil dengan revolusi microchips dan revolusi telekomunikasi melalui satelit. Dalam suasana seperti ini kita berkiprah secara intens pula, sehingga kurang sempat memikirkan, masihkah nasionalisme relevan ? Pendangakalan intelektualisme terjadi karena terdesak oleh intens-nya dunia produksi, distribusi dan konsumsi, dan intensnya interaksi antar bangsa, dimana Indonesia termasuk di dalamnya. Setelah penelusuran dalam bidang ekonomi, bisnis, produksi, distribusi, konsumsi, regionalisasi dan internasionalisasi, saya tiba pada kesimpulan bahwa lebih daripada yang sudah-sudah ternyata nasionalisme, patriotisme, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi masih sangat relevan. Pertarungan memperoleh nilai tambah masih valid, tetapi bentuknya berubah. Penghisapan nilai tambah melalui senjata dan pendudukan berganti menjadi teknologi dan manajemen. Divisi-divisi militernya berubah menjadi perusahaan-perusahaan transnasional. Proses penghisapannya melalui kemitraan dan investasi langsung, lebih beraneka ragam, lebih luwes dan lebih sophisticated sehingga sangat sulit dikenali. Untuk pengenalan apakah di dalam interaksi antar bangsa ini kita diuntungkan atau dirugikan membutuhkan kalkulasi yang konkret. Benarkah bahwa di dalam kenyataannya kita lebih diuntungkan oleh modal asing karena adanya lapangan kerja, karena adanya transfer of knowledge dan transfer of technology. Benarkah bahwa kita diuntungkan secara fair dan adil karena pendapatan pajak. Bukankah keuntungan mereka jauh lebih besar dari kita dan kita akan bisa mendapatkan lebih seandainya kita mau bekerja keras dan mau membebaskan diri dari konvensi, dogma, doktrin serta mitos-mitos yang oleh negara-negara maju dipaksakan kepada kita melalui para kompradornya yang sangat berpengaruh. Kesemuanya ini hanya dapat diketahui kalau kita melakukan kalkulasi yang eksak dan konkret. Bukan sekedar merumuskannya secara garis besar. Nasionalisme baru menuntut kemampuan-kemampuan baru dan dimensi pemikiran mikro yang bagi kita relatif baru ini. 14
Tidak ada negara yang bangkrut seperti halnya perusahaan, karena negara dapat berutang. Tetapi yang demikian itu bisa kita peroleh sebagai komprador dengan nilai tambah yang tidak sebanding kecilnya. Maka yang menjadi masalah bagi kita bukannya akan bangkrut atau tidak secara ekonomis, tetapi akan menjadi bangsa kelas terkemuka atau kelas belakang. Apakah kita akan menjadi bangsa yang diremehkan atau menjadi bangsa yang disegani. Modal kita hanya semangat, yaitu nasionalisme baru, patriotisme baru, demokrasi dan keadilan sosial ekonomi. Akhir kata, apakah yang menjadi driving force terbetuknya Eropa bersatu ? Keuntungan materi sematakah ataukah Eropa Barat sebagai kelompok negara yang demikian tuanya, akhirnya menemukan kembali nasionalisme barunya juga ? Kita sering mendengarkan bahwa Jepang maju karena mempunyai sistem life time employment, mempunyai TQC dan QCC, mempunyai MITI, mempunyai sistem pendidikan yang terseleksi sejak SD dengan jalur elit yang berkesinambungan. Tetapi jarang yang menanyakan, mengapa justru Jepang mempunyai segalanya ini dan bangsa lain tidak punya ? Bisakah jawabnya adalah karena bangsa Jepang tidak pernah pudar nasioanlisme dan patriotisme-nya, dan bangsa Jepanglah yang paling awal mampu menterjemahkannya ke dalam nasioanlisme baru, yang arena pertempurannya adalah perolehan nilai tambah dari bangsa-bangsa yang telah merdeka. Dan karena itu senjatanya harus berubah menjadi penguasaan teknologi dan manajemen ? Relevansi mengenai pentingnya keterkaitan dengan negara bangsanya mungkin bisa lebih ditonjolkan dengan contoh, bahwa apabila negara melalui pemerintahnya membela kepentingannya dengan memberikan subsidi seperti sertifikat ekspor, dia justru terkena sanksi penutupan negara penerima barangnya, seperti halnya dengan AS belum lama berselang dalam hal ekspor tekstil. Dalam keadaan sulit dia berteriak minta perlindungan dan subsidi. Apabila subsidi diberikan, dia akan terkena sanksi oleh negara pengimpor barangnya. Apakah negara bangsanya masih dirasa tidak relevan dalam kaitannya corporate states versus nation states ? Kalau nasionalisme baru toh harus diberi definisi, saya kira definisi yang paling tepat adalah semangat yang selalu ingin meningkatkan kemampuan penciptaan kekayaan negaranya, tetapi bersedia bekerja sama dengan bangsa-bangsa lain, dengan syarat bahwa di dalam kerjasama ini kita tidak dirugikan dan tidak merugikan negara lain. Sifat kerjasama dan interaksi adalah untuk mencapai sinergi dan tidak saling menghisap. Para Hadirin Yth., Ketidak mandirian kita sekarang sudah memasuki tahapan yang sangat membahayakan. Saya tidak perlu berpanjang lebar karena sudah diperdebatkan dan diliput secara panjang lebar. Kita sedang dalam proses dipaksa untuk benar-benar mengeluarkan uang ribuan trilyun rupiah membayar obligasi rekapitalisasi perbankan beserta bunganya. Perkiraan yang dihitung dengan cermat oleh BPPN menunjukkan bahwa kewajiban pemerintah untuk membayar obligasi rekap beserta bunganya bervariasi antara 1000 sampai 14.000 trilyun rupiah. Maka kalau kita ingin mengenakkan diri sendiri, tidak mungkin pemerintah harus membayar kurang dari tiga ribu trilyun rupiah. Obligasi atau surat utang yang semula dimaksud sekedar sebagai instrumen sekarang dipaksakan oleh IMF untuk dibayar betul.

Obligasi yang tadinya harus ditarik kembali sebelum bank dijual, sekarang dipaksakan harus tetap melekat pada bank yang dijual seperti halnya dengan BCA. Dalam LOI terbaru, tidak lebih lambat dari bulan September Bank Niaga harus dijual dengan pola yang sama, dan Bank Danamon serta Bank Mandiri juga harus dijual dengan pola yang sama. Telah dibuktikan pula bahwa utang pokok obligasi yang jatuh tempo memang tidak mampu dibayar dan ditunda pembayarannya. Bahkan, sudah dan akan diterbitkan obligasi baru, yang kesemuanya akan menjadikan APBN kita di tahun-tahun mendatang pasti tidak sustainable. Tetapi IMF tidak mau tahu, mengajukan berbagai perhitungan yang sama sekali tidak masuk akal, dan lagi-lagi, dibela oleh Mafia Ekonom Orde Baru. Bukankah mengherankan dan mengejutkan bahwa selama 32 tahun Orde Baru pemerintah tidak pernah berutang dalam negeri, karena takut terjadi crowding out. Tetapi sekarang merasa tidak apa-apa menerbitkan surat utang yang bersama-sama dengan bunganya mengakibatkan kewajiban pembayaran oleh pemerintah sebesar ribuan trilyun rupiah ? IMF melakukan tekanan pada Tim Ekonomi pemerintah untuk melakukan semuanya yang jelas karena sudah kehilangan kemandiriannya, dan dampak ketiadaan kemandirian ini sudah membawa kita pada ambang kehancuran. Maka sebagai tindak lanjut dari diskusi hari ini kita memang sudah harus membangun kekuatan nasional untuk memperoleh kemandirian kita sendiri demi menyelematkan kemerdekaan, kedaulatan dan kemandirian bangsa, sehingga dengan demikian dapat menghindarkan diri dari ketergantungan yang permanen dari masyarakat internasional.

Tidak ada komentar: