Assalamualaikum Wr.Wb.

About Me....

Foto saya
Bandung, Jawa Barat, Indonesia
Penulis yang masih muda, meniru. Penulis yang sudah berpengalaman, mencuri ide. ~T.S.Elliot-writer~

RASIALISME....



Masalah Rasialisme telah muncul hampir sama tuanya dengan peradaban manusia dan tidaklah bertambah baik seiring kemajuan jaman. Kitab Suci telah mencatat peristiwa rasialis yang terjadi di Tanah Mesir ribuan tahun yang lalu ketika bangsa Yahudi diperbudak oleh bangsa Mesir, dimana Musa lantas memimpin bangsa Yahudi keluar dari tanah Mesir menuju Israel. Ketika orang mengira bahwa masalah rasialisme telah berkurang di jaman modern seperti sekarang ini, maka mata dunia dibuka oleh banyaknya korban jiwa yang jatuh, sehingga baru disadari bahwa masalah rasialisme belumlah selesai, pun sampai hari ini ketika kita telah menjalani sebuah milenium baru.
Dibawah ini hanya sekelumit peristiwa rasialis yang tercatat dalam sejarah.

Masa Romawi dan Yunani

Untuk mengetahui asal mula rasialisme, kita harus melihat jauh ke belakang. Pandangan merendahkan bangsa lain mulai tumbuh ketika sistem penghisapan ekonomi melalui perbudakan dimulai. Perbudakan berawal saat, pemerintah dan beberapa pihak mencari tenaga kerja yang murah. Berbagai cara ditempuh seperti menaklukan bangsa lain lalu menjadikan mereka sebagai budak atau membeli dari para pedagang budak. Bangsa yang kalah perang dianggap sebagai bangsa yang inferior (lebih rendah) dan sang pemenang dapat melakukan apa saja terhadap mereka, termasuk mengirim mereka ke arena Gladiator sebagai hiburan.

Konsep Rasialisme telah terlihat dalam cerita dari masa romawi dan Yunani, walaupun mereka belum mengenal konsep rasial dengan menggunakan perbedaan warna kulit, kebudayaan atau agama.

Perbudakan ras Afrika abad XVI

Konsep rasialisme yang ada sekarang, mulai muncul pada abad ke–XVI ketika perdagangan budak mulai berkembang. Budak-budak didatangkan dari Afrika menuju Eropa atau Amerika. Walaupun hal ini bertentangan dengan konsep kristianitas yang ada dimasyarakat Eropa dan Amerika, namun hal ini tetap terus berlangsung. Para pedagang budak menyebarkan paham bahwa masyarakat kulit hitam (ras Afrika) adalah ras yang terkuat namun inferior, sehingga cocok untuk mengerjakan pekerjaan kasar dan harus tunduk pada perintah. Pandangan inferioritas ini sama dengan yang terjadi pada masa Romawi dan Yunani. Diperkirakan 11,8 juta rakyat Afrika diperdagangkan selama masa Perdagangan Budak Atlantik, di mana sekitar 10 sampai 20% nya tewas dalam perjalanan menyeberangi samudra Atlantik. Pada abad 19, tercatat bahwa 90% budak belian adalah anak- anak. Beberapa negeri telah menjadi kaya raya karena perdagangan budak ini. Perbudakan Afrika adalah saudara kembar kolonialisme di benua itu. Tahun 1884 di Berlin, beberapa negara yaitu Inggris Raya, Perancis, Spanyol, Jerman, Belgia, Belanda dan Portugal bertemu untuk membagi- bagi wilayah Afrika di antara mereka. Masyarakat adat Afrika yang selama ini menjadi satu kesatuan menjadi terbelah mengikuti garis kepemilikan yang digambar di atas peta oleh bangsa Eropa, menjadi negara-negara yang berbeda. Inilah sebabnya mengapa banyak suku etnik Afrika misalnya suku Somalia dapat ditemukan tersebar di lima atau enam negara yang berbeda. Hal ini pula yang menjadi benih konflik antar suku di Afrika, seperti antara suku Tutsi dan Hutu yang kebetulan disatukan oleh garis batas negara Rwanda.

Pembantaian ras Armenia

Pembantaian yang terjadi terhadap ras Armenia dimulai tahun 1915 sampai dengan 1918, pada saat perang dunia I sedang berlangsung. Pembantaian ini direncanakan dan dilakukan oleh pemerintahan Turki terhadap seluruh populasi Armenia yang ada di negara itu. Ras Armenia menjadi korban deportasi, pengusiran, penyiksaan, pembantaian dan kelaparan. Sejumlah besar populasi Armenia diusir menuju ke Siria dan padang pasir dimana mereka menjadi korban kelaparan dan kehausan. Keputusan pembantaian ini muncul dari partai Ittihad ve Terakki Jemiyeti atau populer disebut sebagai partai Pemuda Turki yang memerintahkan pihak militer untuk melaksanakannya. Selain itu, pemerintah Turki juga membentuk pasukan khusus, Teshkilati Mahsusa yang tugas utamanya melakukan pembantaian massal. Pembasmian ras ini didukung pula oleh propaganda- propaganda ideologis melalui media tentang ide pembentukan kekaisaran Turki baru yang disebut Pan- Turanism, yang terbentang dari Anatolia hingga Asia Tengah dan rencananya hanya akan dihuni oleh orang Turki asli saja. Propaganda ideologis inilah yang menjadi pembenaran pembunuhan besar- besaran tersebut. Setelah PD I mulai berakhir, pembantain sempat mereda, namun mulai terjadi kembali tahun 1920 sampai dengan 1923, kini dilakukan oleh partai Nasionalis Turki yang merupakan oposisi dari Pemuda Turki, namun memiliki pandangan kemurnian ras yang sama. Total diperkirakan satu setengah juta orang Armenia terbunuh selama periode 1915- 1923 tersebut. Pada akhir PD I, pelaku- pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan ini dituntut atas pebuatan mereka. Sebagian besar lari meninggalkan Turki untuk menghindari pengadilan, namun mereka diadili secara inabsentia dan dinyatakan bersalah.

Nazi dan anti Yahudi

Bahaya rasialisme baru disadari oleh dunia saat terjadi pembantaian secara sistematis yang dilakukan oleh Nazi terhadap etnis yahudi-eropa. Momen perang dunia II yang meminta korban bangsa Yahudi yang sangat besar. Pembantaian secara besar-besaran oleh Hitler dan Nazi dilakukan dengan cara membangun kamp-kamp konsentrasi. Kamp Konsentrasi tersebut menjadi tempat pembantaian para bangsa Yahudi. Kebencian Nazi terhadap keturunan Yahudi muncul karena keturunan Yahudi dianggap sebagai penyebab kekalahan Jerman pada Perang Dunia I, dan sementara ekonomi Jerman mengalami kesulitan, para keturunan Yahudi tetap sukses memegang peranan ekonomi yang besar di Jerman. Namun alasan ini patut dipertanyakan kembali jika melihat kenyataan bahwa bukan hanya 6 juta orang Yahudi yang mati di tangan Nazi, melainkan juga 5 juta etnik non Aria lainnya seperti Gipsi, kaum Homo seksual, keturunan Asia dan lainnya. Dalam propagandanya Nazi memang kental mengusung isu rasialisme dengan memberi fokus pada keunggulan ras mereka, yaitu ras Aria.

Bila dilihat lebih kebelakang lagi, pada abad ke-XIV, masa inkuisisi di Eropa juga terjadi pembantaian dan pengusiran terhadap bangsa Yahudi. Tomas de Torguemeda (1420-1498), kepala pengadilan inkuisisi Spanyol telah membantai kurang lebih 2.000 orang dengan siksaan dan mengusir sekitar 200.000 orang bangsa yahudi.

Perbedaan antara Hitler dan Tomas de Torguemeda adalah Hitler melakukan pengejaran yang dilanjutkan dengan pembantaian secara sistematis dan meluas.

Diskriminasi terhadap bangsa Indian di benua Amerika

Kedatangan bangsa kulit putih ke benua Amerika ternyata menimbulkan sebuah masalah terhadap bangsa asli benua Amerika, Bangsa Indian. Perebutan tanah oleh para pendatang menimbulkan peperangan kecil dengan bangsa indian di berbagai pelosok benua Amerika.

Pada tahun 1830 lahir Indian Removal Act, peraturan yang memungkinkan pengusiran terhadap bangsa indian demi kepentingan para pendatang yang didominasi oleh kulit putih. Akibatnya, lebih dari 70.000 orang indian di usir dari tanahnya sehingga mengakibatkan ribuan orang meninggal.

Pada pertengahan abad ke-XIX, peperangan antara bangsa indian dengan tentara kavaleri terus terjadi. Kaum pendatang terus berusaha mempersempit lahan yang dimiliki oleh indian. Hal ini dikarenakan banyaknya penemuan tambang-tambang emas di wilayah barat, terutama California. Keberpihakan pemerintah kepada kaum kulit putih tergambar dari dikeluarkannya Dawes Act pada tahun 1887. Peraturan tersebut mempersempit lahan yang dimiliki oleh bangsa indian dengan cara menjatah tanah per kepala keluarga.

Perjuangan untuk memperbaiki kehidupan bangsa indian memang sangat panjang. Bangsa indian akhirnya mendaptkan status kewarga negaraan Amerika pada tahun 1934 dengan disahkannya Reorganization Act. Peraturan ini juga menghentikan semua bentuk pengusiran terhadap bangsa indian. Walau demikian, bangsa indian tetap diberi tempat yang diberi nama reservation area yang berfungsi seperti ghetto (penampungan) bagi kaum indian

Diskriminasi terhadap bangsa Aborigin dan bangsa lainnya di Australia.

Sebagai negara jajahan, Australia mempunyai sejarah yang diwarisi oleh rasisme yang sangat kental. Baik terhadap bangsa Aborigin atau kepada imigran (kaum pendatang) ke Australia. Populasi mayoritas di Australia berlatar belakang Anglo-celtic (Inggris atau Irlandia). Mayoritas yang menjadi korbannya adalah masyarakat Aborigin, Asia, Arab dan Yahudi. Hal ini juga termasuk orang yang karena agama dan kepercayaannya, seperti; perempuan muslim yang mengenakan jilbab dan pria yahudi yang mengenakan yarmulka (topi Yahudi).

Kebijakan White Australia Policy, yang dicabut pada tahun 1972 memberikan sedikit harapan terhadap para Aborigin dan imigran lainnya. Namun demikian, kebijakan untuk pembauran atau asimilasi tidak berhasil dan tidak adil. Pemerintah Australia menyadari hal tersebut sehingga pada tahun 1989 dikeluarkan kebijakan Multikulturalisme.

Apartheid di Afrika Selatan

Banyak yang menilai bahwa apartheid adalah reinkarnasi politik diskriminasi rasial Nazi. Politik Apartheid mulai diterapkan di Afrika Selatan pada tahun 1948 ketika sebuah partai ultra nasionalis memenangkan pemilu. Sejak saat itu pula muncul undang- undang yang tidak berpihak kepada kaum kulit hitam. Hal ini berpuncak saat, Partai Nasional berkuasa dan kemudian meresmikan undang-undang yang sangat kental dengan diskriminasi rasial.

Population Regestration Act (1949) merupakan awal berdirinya struktur apartheid. Penduduk Afrika Selatan diharuskan mendaftarkan diri berdasarkan rasnya. Kemudian berlanjut dengan munculnya Bantu Self Govement Act (1959), dibangun ghetto bagi kaum kulit hitam. Sistem ini ditujukan agar kaum kulit hitam kehilangan hak poltiknya dalam politik Afrika selatan. Kaum kulit hitam hanya boleh mempelajari tentnag kebudayaan masing-masing, harus memiliki surat jalan jika ingin keluar dari wilayahnya, dan dilarang melakukan perkawinan antar ras.

Sistem Apartheid yang dirasa sangat mengekang menimbulkan semangat perlawanan dari kaum kulit hitam. African National Congres (ANC), South Africa Communist Party (SACP), dan Pan Africa Congress membentuk aliansi untuk melawan sistem Apartheid. Aksi di parlemen, aksi boikot hingga pembentukan Umkhonto We Sizwe (Lembing Bangsa) sebagai sayap bersenjata mereka adalah sebagian kecil dari aksi yang mereka lakukan. Setelah mengorbankan banyak jiwa, akhirnya perjuangan mereka berhasil pada penghujung dekade 1980-an. Afrika Selatan lantas menjadi model dari suatu proses rekonsiliasi antara kekuatan lama dan kekuatan baru yang mencoba untuk menerapkan suatu proses ‘kebenaran dan rekonsiliasi’ yang bukan didasari atas dendam kesumat.

Masih sekian banyak kasus rasial di belahan dunia yang terjadi seperti pembantaian yang terjadi di Kosovo dan juga di Rwanda yang telah membuka mata dunia bahwa bahaya rasialisme belum selesai. Di Rwanda kurang lebih 800.000 suku Tutsi menjadi korban pembantaian terencana oleh tokoh- tokoh militan suku Hutu, bahkan sebagian suku Hutu sendiri yang beraliran moderat, dalam arti tidak memusuhi suku Tutsi, juga menjadi korban pembantaian tersebut. Jatuhnya ribuan bahkan ratusan ribu korban jiwa dari berbagai peristiwa tersebut merupakan pelajaran dunia. Sebagai tambahan, berbagai kasus ras juga terjadi di Indonesia, misalnya antara warga suku Dayak dan Madura, patut mendapat perhatian kita.